• Jelajahi

    Copyright © NEWS POST | BERITA HARI INI TERKINI
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Lonjakan Kasus Korupsi Kades Kontras dengan Kriminalisasi Kebijakan BUMN

    NewsPost
    Minggu, 23 November 2025, 17:23 WIB Last Updated 2025-11-23T10:23:38Z

     

           Opini Hukum: Mappasessu, SH.,MH.,


    Soppeng — Lonjakan kasus korupsi kepala desa yang mencapai 489 perkara hanya dalam semester I tahun 2025 memicu kekhawatiran serius di kalangan penegak hukum dan akademisi. Plt Sekretaris Jaksa Agung Muda Intelijen (Sesjamintel) Kejaksaan Agung RI, Sarjono Turin, mengungkapkan bahwa angka tersebut meningkat tajam dari tahun-tahun sebelumnya.

    “Pada 2023 ada 184 kasus, tahun 2024 naik menjadi 275, dan kini Januari sampai Juni 2025 sudah 489 kasus. Angka ini terus meningkat dan membuat kami kewalahan,” ujarnya.

    Di tengah meledaknya korupsi tingkat desa, para pengamat hukum menyoroti kontras mencolok dengan penanganan kasus dugaan korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), seperti perkara KSU dan akuisisi PT JN oleh PT ASDP Indonesia Ferry yang terjadi sepanjang 2019–2022.

    Dalam kasus ASDP, majelis hakim menyatakan unsur kerugian negara terpenuhi karena akuisisi tersebut dinilai memberikan “keuntungan luar biasa” kepada PT JN. Pernyataan ini menjadi dasar pemidanaan berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor, meskipun tidak ada bukti bahwa para terdakwa, termasuk mantan Direktur Utama ASDP Ira Puspadewi, menerima keuntungan pribadi.

    Ira membantah keras anggapan adanya korupsi. Ia menyebut akuisisi PT JN sebagai keputusan bisnis strategis untuk memperkuat trayek komersial ASDP, termasuk memperluas pelayanan subsidi silang ke wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). “PT JN memiliki izin 53 kapal. Dengan menguatkan trayek komersial, ASDP semakin kuat untuk mensubsidi daerah 3T,” terangnya.

    Pakar Hukum Postkolonial Mappasessu SH MH, menilai dua fenomena ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia masih dibayangi model penegakan hukum kolonial, yang berorientasi menghukum pejabat publik tanpa mempertimbangkan konteks kebijakan dan struktur tata kelola modern.

    Pengamat hukum dan akademisi hukum publik, Mappasessu, SH., MH., menjelaskan bahwa pola pikir kolonial masih tertanam dalam UU Tipikor. “Warisan hukum kolonial mengajarkan bahwa pejabat publik adalah pihak yang selalu harus dicurigai. Kerugian negara dianggap bukti otomatis korupsi, tanpa melihat mens rea atau niat jahatnya,” katanya.

    Ia menambahkan bahwa pendekatan ini berbahaya karena membuka peluang kriminalisasi kebijakan, terutama terhadap pejabat BUMN yang mengambil risiko bisnis. “Jika keputusan bisnis yang diambil dengan analisis dan itikad baik tetap dipidana hanya karena tidak sempurna, maka pejabat BUMN akan takut berinovasi. Yang rugi akhirnya negara,” jelasnya.

    Sementara itu, ledakan korupsi kepala desa justru menunjukkan kelemahan tata kelola di level akar rumput. Pengawasan lemah, transparansi minim, dan dana desa yang terus meningkat membuat praktik penyalahgunaan dana berubah menjadi rutinitas. “Ini bukan lagi sekadar penyimpangan. Ini sudah jadi kultur administratif di banyak desa,” ujar narasumber tersebut.

    Mappasessu, menilai pemerintah harus segera membedakan secara tegas antara korupsi dengan niat jahat dan kesalahan administratif atau keputusan bisnis. Selain itu, mereka mendesak agar business judgement rule dikodifikasi jelas untuk melindungi direksi BUMN dari kriminalisasi.

    Di sisi lain, digitalisasi APBDes, audit real-time, dan pendampingan tata kelola dianggap mendesak untuk menekan korupsi di tingkat desa yang terus meningkat.

    “Selama hukum kita masih menggunakan kacamata kolonial, kita akan melihat fenomena aneh: pejabat inovatif dihukum, sementara korupsi struktural justru merajalela,” tegasnya.

    Analis hukum itu menekankan bahwa Indonesia membutuhkan reformasi hukum yang berani agar mampu membedakan antara pejabat yang beritikad baik dan pejabat yang benar-benar menyelewengkan kekuasaan.

    “Jika tidak, kita akan mengalami stagnasi: inovasi mati, BUMN lumpuh, dan desa-desa semakin tenggelam dalam skandal korupsi,” pungkasnya.

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini