Newspost.my.id, Soppeng 29/07/2025. -- Era digital telah mengubah wajah jurnalisme secara fundamental. Lanskap media yang dulu didominasi oleh cetak, radio, dan televisi kini bergeser ke ranah digital yang serba cepat dan tanpa batas. Kehadiran portal berita daring (online) dan media sosial memungkinkan informasi menyebar laksana kilat, menjangkau khalayak di mana saja dan kapan saja. Ini adalah sebuah kemajuan yang tak terelakkan.
Namun, di balik kemudahan itu, tersimpan tantangan besar yang menguji pilar utama profesi ini: profesionalisme.
Kecepatan telah menjadi mata uang utama dalam industri media digital. Redaksi berlomba-lomba menjadi yang pertama menayangkan sebuah peristiwa. Dorongan untuk "tayang cepat" ini sering kali menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, publik mendapatkan informasi secara aktual. Di sisi lain, ada harga mahal yang harus dibayar: akurasi dan etika kerap kali terkorbankan.
Sering kita temui berita daring yang terasa dangkal, tidak lengkap, dan terburu-buru. Verifikasi berlapis yang menjadi standar emas jurnalisme seolah menjadi kemewahan yang tidak sempat dilakukan. Akibatnya, tidak sedikit jurnalis yang terjebak dalam perangkap menyajikan berita yang lebih mengutamakan aktualitas ketimbang akurasi. Lebih parah lagi, banyak yang tergelincir pada pelanggaran Kode Etik Jurnalistik (KEJ) hingga berujung pada persoalan hukum.
Kondisi ini diperburuk dengan fenomena di mana jurnalis, terutama di media daring, menjadikan media sosial sebagai sumber utama berita tanpa melakukan uji silang (cross-check) yang memadai. Akibatnya, kualitas informasi menurun dan kredibilitas media perlahan terkikis.
Ketika kepercayaan publik terhadap media massa menurun, masyarakat akan mencari sumber "kebenaran" alternatif, yang sering kali membuka jalan bagi fenomena post-truth—sebuah kondisi di mana kebenaran dibentuk oleh opini dan kepentingan, bukan oleh fakta.
Di sinilah profesionalisme menjadi benteng pertahanan utama. Profesionalisme bukan sekadar label, melainkan seperangkat nilai dan praktik yang disepakati secara kolektif untuk menjaga mutu dan martabat jurnalisme. Seorang jurnalis profesional tidak hanya diukur dari kemampuannya menulis, tetapi juga dari serangkaian keterampilan lain seperti riset mendalam, teknik wawancara yang efektif, analisis yang tajam, hingga penguasaan perangkat multimedia.
Tokoh pers Indonesia, Parni Hadi, seperti dikutip oleh penguji UKW Rolex Malahan dalam tulisannya di Antaranews, mengemukakan tiga unsur pokok yang harus dimiliki seorang wartawan profesional.
Pertama, memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai. Di era sekarang, standar ini semakin tinggi. Banyak media arus utama mensyaratkan jurnalisnya minimal bergelar sarjana. Namun, ijazah saja tidak cukup. Peningkatan kapasitas melalui pelatihan, kursus, dan sertifikasi seperti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) menjadi alat ukur penting untuk memastikan seorang jurnalis benar-benar kompeten.
Kedua, dilindungi dan tunduk pada hukum serta kode etik. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai payung hukum dan Kode Etik Jurnalistik sebagai pedoman moral. Dua perangkat inilah yang membedakan jurnalis dari sekadar pembuat konten. Jurnalis yang bekerja tanpa mematuhi kedua instrumen ini tidak dapat disebut profesional. Jika mereka melakukan kesalahan, mereka tidak akan dilindungi oleh UU Pers, melainkan berhadapan langsung dengan hukum pidana umum.
Ketiga, mendapat imbalan yang layak. Profesionalisme menuntut kesejahteraan. Seorang jurnalis yang tidak digaji secara layak oleh perusahaannya akan rentan terhadap praktik-praktik tidak etis untuk bertahan hidup. Kesejahteraan adalah fondasi bagi independensi seorang jurnalis dalam bekerja.
Tantangan untuk melahirkan jurnalis profesional di "zaman edan" ini memang tidak mudah. Diperlukan upaya serius dari setiap individu jurnalis, komitmen kuat dari perusahaan pers, serta dukungan dari organisasi profesi dan masyarakat. Program fasilitasi Pelatihan Jurnalistik dan UKW yang didukung pemerintah melalui Bappenas adalah salah satu langkah positif untuk terus meningkatkan standar kompetensi wartawan di seluruh Indonesia.
Pada akhirnya, mewujudkan pers yang profesional adalah tanggung jawab kita bersama. Sebab, pers yang profesional tidak hanya menjaga marwah profesi, tetapi juga merawat pilar demokrasi dan menjadi suluh penerang di tengah derasnya arus informasi yang kerap kali keruh. (**)