Newspost.my.id, Soppeng, 28 Juni 2025 — Dalam menyambut tahun baru Islam 1 Muharram 1447 Hijriah, komunitas budaya dan spiritual Mappasessu di Kabupaten Soppeng menyuguhkan refleksi mendalam tentang jati diri manusia Bugis dalam hubungannya dengan semesta, etika, dan tradisi leluhur.
Dengan narasi khas yang sarat simbolisme kosmologis, Mappasessu mengingatkan bahwa menjadi Bugis bukan semata identitas etnik, melainkan amanah dari tiga lapis dunia: langit, bumi, dan bawah tanah. “Di pundak kita, langit menitipkan cahaya; di kaki kita, bumi menggantungkan akar; dan di dada kita, dunia menunggu untuk ditata dengan keseimbangan dan kasih,” demikian kutipan utama dalam renungan tersebut.
Dalam falsafah Bugis kuno, manusia merupakan bagian dari harmoni semesta yang disebut pitu langi’—tujuh lapis langit yang menyatu dalam kesadaran spiritual. Konsep ini mengajarkan bahwa hidup tidak sekadar jasmani atau rohani, melainkan perpaduan keduanya dalam satu tubuh kosmos yang hidup, sebagaimana digambarkan oleh pohon mitologis Welenrénngé, simbol penghubung antara langit, bumi, dan dasar samudra.
Tokoh mitologis Sawérigading turut diangkat sebagai lambang keberanian eksistensial: melampaui batas luar untuk menjelajahi ruang dalam. Perjalanan Sawérigading dianggap sebagai metafora bagi pencarian jati diri yang sejati, bahwa setiap pelayaran keluar adalah cara untuk pulang ke dalam.
Renungan ini juga menegaskan pentingnya prinsip Eppa Sulapa—empat unsur pembentuk manusia: api, angin, air, dan tanah. Setiap unsur memiliki fungsi batiniah yang membentuk integritas seorang Bugis: semangat, pikiran, rasa, dan pijakan hidup. Hanya yang mampu menyelaraskan keempatnya yang bisa disebut lempu’—manusia yang jujur, adil, dan lurus dalam jalan hidupnya.
Tak hanya soal filsafat, narasi ini juga menggarisbawahi nilai-nilai etika dalam Kitab I La Galigo dan aksara Lontaraq. Di sana, hidup bukan sekadar dijalani, tetapi ditata dalam bingkai martabat (siri’), empati (pesse), dan kelurusan moral (lempu’).
“Masyarakat Bugis tidak hidup di antara masa lalu dan masa depan, tapi dalam lingkar waktu yang disebut Abbulo Sibatang—bambu sebatang yang tumbuh tegak dan bercabang, namun tetap satu,” ungkap refleksi tersebut. Metafora ini menjadi penegasan bahwa perubahan zaman tidak berarti tercerabut dari akar, sebab jati diri Bugis tumbuh dalam kesinambungan nilai dan spiritualitas.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi, refleksi ini menjadi pengingat bahwa orang Bugis bukan sekadar bagian dari sejarah, tetapi penjaga nilai-nilai kosmis dalam tubuh dan jiwa. “Dalam tubuh kami tertulis huruf Lontara, dalam jiwa kami berdetak irama zikir tanah leluhur,” tulis renungan itu, menyatukan spiritualitas Islam dan budaya lokal secara padu. (***)
Renungan Mappasessu ini bukan hanya bentuk kontemplasi tahun baru Hijriah, melainkan ajakan bagi generasi Bugis untuk kembali memahami dirinya sebagai penjaga kosmos, bukan hanya warga dunia, tetapi penjaga harmoni antara langit, bumi, dan lautan batin.