
Berita: NEWS POST MY.ID,-
Di sepanjang jalan poros Majene– hamparan laut biru dan perkampungan nelayan menjadi pemandangan lazim. Namun, di salah satu desa kecil bernama Batutaku, Kabupaten Majene, tersimpan warisan kuliner yang tak lekang oleh waktu. Bukan sekadar hidangan pengisi perut, melainkan identitas kultural masyarakat Mandar: Jepa dan ikan tuing-tuing—istilah lokal untuk ikan terbang.
Jepa, yang sekilas tampak sederhana, terbuat dari singkong parut yang diperas hingga menyisakan serat kering. Adonan itu kemudian dibentuk pipih dan dibakar di atas tungku tanah liat. Hasilnya adalah roti kering tipis yang renyah di tepi, namun kenyal di bagian tengah. Jepa biasa disajikan dengan lauk ikan segar, salah satunya ikan tuing-tuing. Ikan berwarna perak dengan sayap tipis itu dimasak dengan bumbu sederhana—sering hanya garam, bawang, dan perasan jeruk—namun menghadirkan sensasi rasa laut yang kuat.
Bagi masyarakat Mandar, Jepa bukan sekadar makanan sehari-hari. Ia adalah jejak sejarah agraris-maritim. Singkong dipilih bukan hanya karena mudah tumbuh di tanah Mandar, tapi juga karena ketahanannya. “Jepa bisa bertahan lama, cocok untuk bekal melaut berhari-hari,” ujar La Ode, seorang nelayan tua di Batutaku. Ikan tuing-tuing pun menjadi simbol ketersediaan protein laut yang melimpah, bagian tak terpisahkan dari pola hidup bahari orang Mandar.
Namun, di balik kelezatannya, kuliner ini menghadapi ancaman. Modernisasi perlahan menggerus kebiasaan memasak tradisional. Anak muda Mandar lebih akrab dengan mie instan dan makanan cepat saji ketimbang mengolah singkong jadi Jepa. Beberapa warung makan lokal bahkan mulai mengganti ikan tuing-tuing dengan ikan lain yang lebih mudah diperoleh di pasar modern. “Kalau tidak dilestarikan, bisa saja dua puluh tahun lagi anak cucu kita hanya mengenal Jepa lewat cerita,” kata Nurdin, budayawan Majene.
Kearifan lokal yang terkandung dalam Jepa dan ikan tuing-tuing juga merefleksikan filosofi kebersamaan orang Mandar. Proses membuat Jepa sering dilakukan berkelompok, dari memarut singkong hingga membakar di tungku. Di meja makan, hidangan ini menjadi pemersatu keluarga, simbol kehangatan, dan ikatan sosial.
Di tengah derasnya arus globalisasi kuliner, menjaga keberadaan makanan tradisional Mandar adalah bentuk perlawanan kultural. Ia bukan sekadar nostalgia, melainkan bagian dari upaya mempertahankan jati diri di tengah homogenisasi selera.
Melestarikan Jepa dan ikan tuing-tuing berarti menjaga ingatan kolektif masyarakat Mandar: tentang laut, tentang tanah, dan tentang kebersamaan yang diwariskan turun-temurun. (Rudi)






