Newspost.my.id, |. - Soppeng, 1 Juni 2025 — Sebuah perkara sengketa tanah perumahan yang bermula dari gugatan di Pengadilan Agama, berakhir dengan pembatalan putusan di tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung. Kasus ini mencerminkan perlunya pendekatan hukum yang tidak hanya normatif, tetapi juga relektif dan konstelatif—sebagaimana diusung oleh Teori Hukum Reflektif-Konstelatif Nusantara.
Kronologi Singkat Perkara
Seorang Penggugat, anak dari pihak yang menerima hibah tanah dari orang tuanya, menggugat salah satu kerabat jauh yang selama bertahun-tahun tinggal di atas tanah tersebut. Gugatan dilayangkan ke Pengadilan Agama dengan dalil bahwa objek tanah adalah hak sah orang tua Penggugat berdasarkan akta hibah.
Pengadilan Agama tingkat pertama memenangkan Penggugat. Putusan ini diperkuat oleh Pengadilan Tinggi Agama dalam tingkat banding. Namun, saat perkara diajukan ke Mahkamah Agung melalui kasasi, arah hukum berbalik tajam: Mahkamah Agung membatalkan seluruh putusan sebelumnya dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.
Alasan Mahkamah Agung? Kesalahan penerapan hukum oleh pengadilan sebelumnya. Sengketa yang diajukan seharusnya bukan gugatan hibah di Pengadilan Agama, melainkan gugatan kepemilikan yang masuk ke yurisdiksi Pengadilan Negeri. Hubungan hukum antara para pihak menunjukkan bahwa objek perkara telah menjadi sengketa kepemilikan, bukan lagi hibah dalam konteks waris atau keluarga.
Analisa Relektif-Konstelatif terhadap Sengketa
Teori Hukum Relektif-Konstelatif Nusantara, yang menggabungkan pandangan relektif terhadap struktur hukum positif dengan konstelasi nilai-nilai kearifan lokal dan relasi sosial, memberikan sudut pandang penting atas perkara ini.
1. Releksi atas Kesalahan Substansi Hukum
Putusan Pengadilan Agama yang menerima dan mengadili perkara hibah tersebut menunjukkan reduksi hukum yang kaku. Melalui lensa reflektif, dapat dilihat bahwa hakim gagal menangkap realitas sosiologis dan historis antara Penggugat dan Tergugat—yakni bahwa pihak yang tinggal di tanah tersebut bukan hanya menumpang, melainkan memiliki klaim kepemilikan yang harus diuji di Pengadilan Negeri.
Teori ini menuntut hakim tidak hanya taat teks hukum, tetapi juga melakukan perenungan kritis terhadap konteks, sejarah kepemilikan, dan hubungan sosial di balik objek sengketa.
2. Konstelasi Relasi Hukum Kekerabatan
Teori ini juga menekankan pentingnya membaca jaringan relasi hukum dalam budaya Nusantara. Dalam hal ini, hubungan antara Penggugat dan Tergugat sebagai keluarga jauh yang tinggal bertahun-tahun di objek sengketa, menyiratkan adanya klaim “pemanfaatan” yang bisa mengarah pada hak milik atas dasar penguasaan lama (rechtsverwerking) atau prinsip kepemilikan secara adat (customary tenure).
Seyogianya, relasi ini dibaca tidak semata melalui dokumen formal, tetapi melalui konstelasi historis-hakiki dari relasi sosial—sebagaimana dijunjung dalam struktur masyarakat hukum adat Nusantara.
Putusan MA dan Urgensi Pemetaan Yurisdiksi Substansial
Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan putusan sebelumnya dan menegaskan bahwa sengketa harus lebih dahulu diperiksa di Pengadilan Negeri menunjukkan pemetaan yurisdiksi yang lebih tepat. Sengketa hibah mensyaratkan tidak adanya konflik kepemilikan yang mendasar. Namun dalam kasus ini, substansi perkaranya telah bergeser menjadi sengketa siapa pemilik sebenarnya dari objek tanah tersebut.
Dengan begitu, Pengadilan Agama keliru sejak awal dalam memahami karakter peristiwa hukum. Di sinilah pentingnya teori reflektif-konstelatif: tidak hanya mengejar “kepastian hukum”, tetapi juga kebenaran hukum yang substantif berdasarkan struktur sosial dan sejarah relasional para pihak.
Menuju Hukum yang Mampu Membaca Realitas
Kasus ini menjadi preseden penting: bahwa pengadilan tidak boleh terburu-buru memutus perkara dengan bingkai formalistik semata. Teori Hukum Relektif-Konstelatif Nusantara menawarkan "pisau analisa" yang lebih tajam dan kontekstual—bukan hanya sekadar mengukur norma, tetapi juga membaca nilai, makna, dan relasi historis yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Sebagaimana diungkapkan oleh Mappasessu, penggagas teori ini, “Hukum yang baik bukan hanya yang tertulis, tetapi yang mampu memantulkan kenyataan dan mengonstelasikan nilai-nilai lokal dengan sistem hukum nasional.

”Putusan ini menegaskan bahwa keberanian berpikir reflektif dan konstelatif di ruang pengadilan adalah jalan menuju keadilan substantif, bukan semata-mata legal-formal
(Red)