Newspost.my.id . NP
BAROMETER BERITA INDONESIA
Oleh Mappasessu
Pemerhati Gerakan Buruh dan Ekonomi Politik
Tanggal 1 Mei bukan sekadar momen seremonial tahunan bagi buruh sedunia. Ia adalah manifestasi sejarah perjuangan kelas pekerja melawan ketimpangan struktural yang diwariskan oleh relasi produksi kapitalistik. Bagi saya, sebagai pemerhati gerakan buruh dan ekonomi politik, Hari Buruh 1 Mei 2025 menjadi ruang reflektif yang genting: apakah buruh hari ini benar-benar sedang merdeka dari rantai penindasan, atau justru tengah dibungkus dalam bentuk-bentuk baru perbudakan digital?
Dialektika Sejarah Perjuangan Buruh
Sejak meletusnya gerakan buruh abad ke-19 yang melahirkan Hari Buruh, kaum pekerja telah menjadi motor perubahan sejarah. Namun dalam kaca mata Materialisme Dialektika Historis, kita mesti melihat bahwa perubahan relasi kerja selalu mengikuti perubahan struktur ekonomi dan alat produksi. Ketika revolusi industri pertama melahirkan mesin-mesin, relasi tenaga kerja berubah. Ketika kapitalisme finansial dan digital muncul, buruh kembali dihadapkan pada kontradiksi baru.
Hari ini, kita hidup dalam formasi sosial ekonomi yang kompleks: otomatisasi menggantikan keterampilan manual, algoritma mengelola produktivitas, dan kecerdasan buatan bahkan menentukan siapa yang layak bekerja. Namun, apakah ini kemajuan yang memanusiakan?
ILO dan Agenda Global: Keadilan Sosial dalam Tanda Tanya
Organisasi Buruh Internasional (ILO) dalam beberapa tahun terakhir terus mendorong agenda besar: pekerjaan layak (decent work), keadilan sosial, keselamatan kerja, dan kesetaraan gender. Empat pilar ini menjadi panggung global Hari Buruh 2025. Namun realitas di lapangan, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, menunjukkan jurang antara ide dan praktik.
Pekerjaan Layak dan Keadilan Sosial
ILO menegaskan pentingnya jaminan upah layak, perlindungan sosial, dan jam kerja manusiawi. Namun neoliberalisme yang menjadi arsitek utama globalisasi ekonomi justru menekan nilai kerja manusia demi efisiensi. Buruh di industri garmen, manufaktur, dan logistik tetap menjadi korban outsourcing, upah murah, serta ketidakpastian kontrak.
Di Indonesia, struktur kerja masih didominasi pekerja informal yang tidak memiliki akses terhadap jaminan sosial yang memadai. Ironisnya, regulasi nasional justru cenderung menyesuaikan diri dengan logika pasar daripada menjamin perlindungan buruh.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja: Realitas yang Terabaikan
ILO melaporkan lebih dari 2,78 juta pekerja di seluruh dunia meninggal setiap tahun karena kecelakaan atau penyakit akibat kerja. Di sektor konstruksi, perkebunan, dan pertambangan, para buruh tetap berada di garis depan risiko, tanpa perlindungan memadai. Di Indonesia, insiden kerja sering kali luput dari tanggung jawab perusahaan besar yang mengklaim "kepatuhan etis."
Digitalisasi dan Masa Depan Kerja: Janji atau Jerat?
Isu yang paling krusial tahun ini adalah transformasi digital dalam dunia kerja. Otomatisasi, sistem kerja jarak jauh, platform digital, hingga management by algorithm menjadi bentuk baru relasi produksi. Di satu sisi, efisiensi meningkat. Namun di sisi lain, terjadi peminggiran besar-besaran terhadap buruh yang tidak adaptif terhadap teknologi.
Dalam analisis dialektis, digitalisasi bukan sekadar netral. Ia adalah alat baru dalam reproduksi kapitalisme—dimana nilai lebih tetap diserap dari kerja manusia, meski kini dalam bentuk klik, data, dan logistik digital. Apakah pekerja daring di perusahaan platform benar-benar bebas? Atau mereka sekadar digiring dalam bentuk baru dari “tuan digital”?
Kesetaraan Gender: Agenda yang Belum Rampung
Isu kesetaraan gender juga mencuat. Perempuan pekerja masih mengalami diskriminasi gaji, beban kerja ganda, serta ketidakamanan kerja terutama di sektor layanan dan manufaktur. Laporan ILO menunjukkan kesenjangan gaji global antara perempuan dan laki-laki mencapai lebih dari 20%. Bahkan dalam dunia kerja digital, bias algoritmik sering kali mereproduksi stereotip gender.
Tanpa reformasi struktural dalam kebijakan ketenagakerjaan dan budaya organisasi, kesetaraan hanya akan menjadi jargon progresif yang hampa.
Membaca Masa Depan Gerakan Buruh: Perlu Dialektika Baru
Kita tidak dapat memahami masa depan kerja tanpa membaca secara kritis sejarah relasi kerja. Materialisme dialektika historis mengajarkan bahwa transformasi sosial hanya terjadi jika kontradiksi antara kelas buruh dan kapitalis diartikulasikan dalam bentuk gerakan sadar. Namun hari ini, kesadaran itu direduksi oleh narasi individualisme, meritokrasi semu, dan ilusi mobilitas sosial.
Hari Buruh 2025 seharusnya menjadi panggung untuk menggugat kembali struktur ketimpangan, bukan sekadar perayaan identitas buruh. Serikat-serikat buruh harus lebih dari sekadar negosiator upah; mereka harus menjadi agen transformasi sosial. Dan negara, jika benar hendak menegakkan keadilan sosial, tidak bisa terus berpihak pada logika modal.
Buruh dan Utopia yang Mungkin
Tidak ada perubahan yang datang dari langit. Setiap kemajuan kerja adalah hasil perlawanan historis. Kini saatnya kita bertanya: apakah kita sedang bergerak menuju masyarakat kerja yang adil, atau justru melangkah ke bentuk baru perbudakan algoritmik?
Hari Buruh harus terus menjadi dialektika: antara yang nyata dan yang mungkin. Di antara mesin-mesin cerdas dan sistem kerja pintar, kita harus tetap menuntut hak untuk menjadi manusia yang utuh—bukan sekadar sumber data, angka produktivitas, atau node dalam jaringan kerja digital.
Sebab seperti kata Marx, “Kaum buruh tidak memiliki apa-apa selain rantai untuk mereka patahkan.” Dan kini, rantai itu hadir dalam bentuk yang lebih canggih—tak kasat mata, tapi tetap mencekik.